2010/02/03

Ihtisan

2:24 PM

Ihtisan
Menurut Imam al-Sarakhsi (w.483H/1090 ahli ushul fiqh Hanafy) yaitu: meninggalkan qiyas
dan mengamalkanyang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang
menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat. Adapun
macam-macamnya yaitu :
1.Al-ihtisan
bi nash (berdasarkan qur`an dan hadits ).
2.Al-ihtisan
bil ijma`
3.Al-ihtisan
bi al-qiyas al-khafi ( ihtisan berdasarkan qiyas tersembunyi )
4.
Al-ihtisan bi al-maslahah
5.
Al-ihtisan bi al-`urf
6.
Al-ihtisan bi al-dharurah



ihtisan Secara Etimologi, Istihsan artinya Menganggap baik sesuatu.
Dalam istilah Ulama Ushul, Istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kiyas jali ( nyata ) kepada kiyas khafi ( samar ), atau dari dalil kully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Karenanya, jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada 2 segi yang saling berlawanan :
Segi zhahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
segi Khafi yang menghendaki adanya hukum lain.
Dalam hal ini, pada diri mujtahid ada dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafi. Namun ia pindah kepada pandangan yang zahir, menurut syara’ hal ini disebut al istihsan. Begitu pula jika ada hukum kully pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juz’iyyah dari hukum kully, dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’iyyah, menurut syara’ hal ini juga disebut al istihsan.
Macam-macam Istihsan
mengutamakan (memenangkan ) kias khafi daripada kias jali berdasarkan dalil.
mengecualikan juz’iyyah dari pada hukum kully berdasarkan dalil.
Contoh- Contoh :
1. Nash Fuqaha Hanafiah
jika seorang wakif mewakafkan sebidang tanah pertanian,maka termasuk di dalam wakaf itu adalah hak perairan, air minum, hak lewat dengan konsekwensi ringan yang tak disebut berdasarkan istihsan.
Tetapi menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk dalam wakaf melainkan jika tedapat nash, misalnya tentang jual beli.
Menurut metode ihsan, yang dimaksud wakaf adalah pemanfaatan barang yang diwakafkan kepada pihak yang menerima wakaf. Tentunya tidak bisa dikatakan pengambilan tanah pertanian, misalnya, melainkan termssuk juga pengairan, air minum dan hak melewati. Semua itu termasuk dalam wakaf, walaupun tidak disebutkan secara ekplisit. Sebab, yang dimaksud wakaf tidak bisa diwujudkan melainkan meliputi keseluruhannya, seperti halnya masalah sewa-menyewa.
Dengan demikian, kias jali adalah menyesuaikan wakaf dengan jual beli lantaran keduanya sama-sama nelepaskan hak milik dari pemilik. Sedangkan kias khafi, akan menyesusaikan wakaf itu dengan sewa-menyewa, lantaran pada keduanya dimaksudkan mengambil manpaat.
Dengan kata lain, masalah pengairan, air minum, dan hak melewati daalm hal menyewakan tanah lumpur dengan tidak disebutkan semua itu, berarti tanah lumpur itu pun termasuk wakaf, walaupun tidak disebutkan.

2. Nash Fuqoha Hanafiyah
Apabila terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli dengan harga tertentu, sedang barang belum diserahterimakan, lalu pihak penjual mengaku harga barang tersebut, misalnya Rp. 100,- dan pihak pembeli mengaku seharga 90, maka penjual dan pembeli itu harus mengangkat sumpah berdasarkan istihsan.
Tetapi menurut kias, pihak penjual tidak diperlukan mengangkat sumpah lantaran ia menambah harga Rp 10, dan pihak pembenli tidak mengakuinya. Dalam hal ini saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wjib bagi orang yang mengingkari. Dengan demikian, tidak ada sumpah bagi pihak penjual.
Kalau dengan jalan istihsan, pihak penjual adalah pendakwa, jia kenyataan itu dikaitkan dengan tambahan harga. Dan pihak pembeli adalh pihak yang mengingkari karena ia hanya membayar Rp 90 ketika menerima barang yang dibeli. Secara nyata, pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari adanya tambahan rp 10 sebagaimana didakwakan pihak penjual. Tetapi pada dasarnya pembeli juga sebagai pendakwa hak penjualan barang yang diserahkan dari penjual seharga Rp 90.
Dengan demikian antara pembeli dan penjual itu, masing-masing berkedudukan sebagai pendakwa ditinaju dari satu segi, dan ditinjau dari segi lainnya, masing-masing dalah yang menigkari. Karenanya kedua-duanya harus diangkat sumpahnya.dengan demikian , kias jali itu menyesuaikan suatu peristiwa dengan peristiwwa yang lain antara pendakwa dengan pengingkar, maka saksi yang nyata bagi pendakwa wajib ada dan wajib sumpah bagi orang yang mengingkari.
Dengan jalan kias khafi yaitu menyesuaikan kejadian itu dengan setiap kejadian antara dua pihak yang saling menuduh. Suatu saat bisa dikatakan sebagai pendakwa, dan di pihak lain dianggap sebgai orang yang mengingkari, kedua-duanya harus mengangkat sumpah.

3. Nash Fuqoha Hanafiyah
Bahwa sisa makanan dari binatang bus seperti burung garuda, gagak dan elang serta rajawali, menurut istihsan adalh suci, tetapi berdasarkan kias adlah najis.
Dengan jalan kias akan dikatakan sisa yang masih berada pada binatang yang dagingnya haram dimakan, misalnya harimau, siba’ srigala, hukumnya mengikuti daging binatang buas itu yaitu haram.
Jka dengan jalan istihsan, walaupun burung buas itu dagingnya haram dimakan, tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidak terjadi percampuran dengan sisia yang berada pada binatang tersebut oleh sebab itu sia makanannya tidaklah haram. Sebab, ia minum menggunakan paruh yang suci. Kalau binatang buas, karena lidahnya itu bercampur dengan air liur, dan jika minum harus menggunakan lidahnya, maka sisannya najis.
Pada contoh-contoh tersebut, terdapat perlawanan antara dua kias pada satu kejadian.pertama, adalah kias jali, yang jelas pemahamannya, dan kedua kias khafi yang samar pemahamannya. Bagi mujtahid, ia telah memiliki dalil yang mengutamakan kias khafi, dengan demikian, ia pindah dari kias jali. Perpindahan ini biasa disebut al istihsan, dan dalil yang dipakai sebagai dasar ialah jalan istihsan.
Contoh-contoh bagian kedua, yaitu mengecualikan jiz’iyyah dqari hukum kully berdasarkan dalil , ialah :
Sayar’I telah melarang mengadakan penjualan atau perjanjian ( akad ) terhadap barang yang tidak terdapat di tempat akad. Tetapi, melalui istihsan, perbuatan itu doiperbolehkan melalui jalan pesanan, akad, atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang utuk ditanami dengan sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian permohoan kerja. Jalan istihsan ini menyangkut kebutuhan manusia yang saling kenal diantara mereka.
Fuqoha telah menetapkan bahwa orang yang dipercaya, jika kematiannya tidak diketahui akan membuat penderitaan lantaran tidak dikeruahuianya. Fan hal itu bisa berlaku bagi siapapun. Namun terapat pengecualian menueurt istihsan terhadap kematian ayah, nenka, atau oarang yang membuat wasiat secara rahasia, dengan jalan istihsan, ayah, nenk, dan pewasiat situ hendaknya menyediakan perbelanjaan untk anak kcil dan memnuhi segala kebutuhannya. Sebab. Kemungkinan apa-apa yang tidak diketahui sudah dipenuhi melaui jalan tersebut.n resiko. Kecuali kalau kerusakan yang terjadi itu sangat luar biasa, jalan istihsan, bersikap percaya kepada pihak penyewa.
Fukha juga menetapkan bahwa orang yang tidak membelanjakan hartanya lataran bofdoh, tidak sah amal baiknya. Menurut istihsan dikecualikan wakaf atas dirinya ketika mash hidup. Jalan istihsan disini ialah wakaf atas dirinya itu berarti mempercayakan tanahnya agar tidak disis-sisikan. Hal ini telah disepakati, dan yang demikian itulah maksud membelanjakan sesuatu.
Dalam contoh-contoh itu, bagian hukum kully dikecualikan oleh dalil juz’I, dan itulah yang disebut sebagi istihsan. Fukoha juga menetapkan bahwa orang yang dipercaya tidak akan menderita kecuali jika dilakukan secara sembarang dan melalmpaui batasa. Menurut istihsan hal ini dikecualikan bagi orang yang mehyewa secara bersama-sama, sebab ia tidak akan menannggung baebab
Kehujahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan dapat diketahui bahwa istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pemebentukan hukum yang bediri sendiri. Sebab, hukum-hukum tersebut pada macam pertama, berdasarkan dalil kias khafi itu lebih diutamakan dibanding kias jali, lantaran itu dapat menenteramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Kemudian macam ihtisan yang kedua, hukum-hukumnya antara lain, dalil maslahah yang menuntut pengecualian pada bagaian hukum kully, atau yang ditemukan sebagai jalan istihsan.
Yang mengunakan hujjan istihsan ini, kebanyakan adalah ulama’ hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan sebagai hujjah adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsa hanya merupakan istidlal dengan kias khapi yang dimenangkan atau diutamakan dari kias jali, atau merupakan kemenangan, atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualian hukum kulli semua ini merupakan istidlal yang benar.

KERAGUAN ORANG YANG TIDAK MENGGUNAKAN ISTIHSAN SEBAGAI HUJJAH
Ada sebagian mujtahid yang menolak penggunaan istihsan dan menuduhnya sebagai istinbat. Hukum syara’ yang didasari kemauan hawa nafsu yang seenaknya. Tokoh yang menolak penggunaan istihsan ini ialah imam Asy-Syafi’I, yang mengatakan siapapun yang menggunakan istihsan berarti telah membuat syariat. Maksudnya orang itu membuat hukum syariat sendiri.
Dalam kitab Arrisalah Imam Asy-Syafi’I menetapkan bahwa, orang yang menggunakan istihsan itu bagaikan orang yang menjalankan sholat menghadap kearah – menurut istihsan adalah arah ka’bah, tanpa mengiringkan dalil-dalil yang dibuat syari.
Dalam kitab yang sama ditempat lain Al-Syafi’i juga menetapkan, “Istihsan sama saja dengan rasa nyaman, yang jika diperkenankan menggunakan istihsan mengenai soal agama, maka kebolehan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang punya akal tetapi bukan ahli ilmu, yang tentunya dibolehkan membuat syari’at dalam setiap masalah, dan masing-masing individu akan membuat hukum syara’ untuk dirinya sendiri.
Bagi muallif dua kelompok yang berbeda pendapat itu lantaran tidak sepakat dalam hal mengertikan pengertian istihsan dengan demikian ulama yang menggunakan istihsan sebagai nhujjah mengharapkan kepada ulama’ yang tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah pada dasarnya menggunakan pengertian lain. Jika mereka yang berbeda itu sepakat mengenai batasan pengertiannya, maka sudah barang tentu mereka tidak akan berbeda pendapat tentang istihsan dapat dijadikan sebagai hujjah . Sebab pada dasarnya istihsan itu ialah pindahnya dari dalil yang jelas atau dari hukum kully lantaran adanya dalil yang menuntut perpindahan itu, sehingga bukannya merupakan pembentukan hukum dengan nafsu. Tiap-tiap qadhi terkadang harus menyalahkan berpikirnya terhadp beberapa kasus yang sebenarnya zhahir undang-undang menuntut adanya perpindahan. Hal inipun termasuk jenis istihsan.
Karenanya Imam Al-Syafi’I mengatakan dalam Al-Muwafaqat orang yang menggunakan Istihsan tidak boleh mengembalikan persoalan kepada perasaan dn keinginannya. Namun harus dikembalikan kepada hal-hal yang telah diketahui berdasarkan tujuan syar’I secara umum dalam beberapa hal dituntut oleh kias tentang adanya perintah. Walaupun, perintah itu dari satu segi dapat menghilangkan maslahah, namun dari segi lain dapat mendatangkan mafsadah.


sumber : berbagai sumber

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah memberikan komentar, selamat mejelajahi blog Pendidik Barsel, Kunjungan berharga mohon tinggalkan komentar

 

© 2013 Blog Pendidik Barsel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top