2010/02/03

Ijtihad dan Mujtahid

. Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasl dari bahasa arab yang kata kerjanya “jahada” , yang atinya berusaha dengan sungguh-sungguh . menurut istilah dalam ilmu fiqih , ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-qur’an fdan hadits dengan syarat syarat tertentu . muslim yang melakukan ijtihad di sebut mujtahid . agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat , seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan . yusuf Al-qardawi (ahli usul dan fikih) , menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah :
• memahami al-qur’an dan asbabun nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alqur’an ) , serta ayat-ayat nasikh (yang menghapus hukum) dan mansukh (ang dihapus) ,
• memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya (munculnya hadits-hadits) , serta memahami hadits-hadits nasikh dan mansukh ,
• mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab ,
• mengetahui tempat-tempat ijmak ,
• mengetahui usul fikih ,
• mengetahui maksud-maksud syariat ,
• memahami masyarakat dan adat istiadatnya , dan
• bersifat adil dan taqwa .
Selain delapan syarat tersebut beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi , yaitu :
• mendalami ilmu ushuluddin (ilmu tentang akidah islam ) ,
• memahami ilmu mantik (logika ),
• mengetahui cabang-cabang fikih
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits .
Tingkatan Ijtihad adalah sebagai berikut :
1. Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah para Imam mazhab.
2. Mujtahd Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
3. Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam usul maupun furu’.
4. Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat.
2.2. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad dikalangan ulama Islam merupakan salah satu metode istinbath atau penggalian sumber hukum syara melalui pengarahn seluruh kemampuan dan kekuatan nalarnya dalam memahami nash- nash syar’I atas suatu peritiwa yang dihadapi dan belum tercantum atau belum ditentukan hukumnya.
Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain :
1. Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.
2. juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
3. Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
4. Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
5. Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara.
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya adalah Firman Allah SWT yang berbunyi :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.(QS.Surat An-Nisa,105).
A
]’’’’’’’’’’’yat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2.3. Macam-macam Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan.
Macam-macam ijtihad dapat dikelompokkan sebagai berikut :
• Dari segi pelaku: a. Ijtihad fardi b. Ijtihad jamai
• Dari segi pelaksanaan:
1. Ijtihad Intiqai: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
2. Ijtihad Insyai: yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu \ermasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
2.4. Fungsi Ijtihad Di Masa Sekarang
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits .
Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati metode asbâb al-nuzûl (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus). Asbâb al-nuzûl berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alûnaka `ani-l khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alûnaka `ani-l mahîdl (menstruasi), wa yas`alûnaka `ani-l anfâl.. dst. Saat ini apa pertanyaaan-pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin? wa yas`alûnaka `ani-l awlamah (globalisasi), wa yas`alûnaka `an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yas`alûnaka `ani-l ihtilâl (kolonialisme), wa yas`alûnaka `ani-l faqr (kemiskinan), wa yas`alûnaka `ani-l bathâlah fi indûnisiâ (pengangguran di Indonesia), wa yas`alûnaka `ani-l fasâd (kerusakan)...dst. Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari permasalahan dan musibah yang menggejala di seluruh masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang general.
Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.

Ihtisan

Ihtisan
Menurut Imam al-Sarakhsi (w.483H/1090 ahli ushul fiqh Hanafy) yaitu: meninggalkan qiyas
dan mengamalkanyang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang
menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat. Adapun
macam-macamnya yaitu :
1.Al-ihtisan
bi nash (berdasarkan qur`an dan hadits ).
2.Al-ihtisan
bil ijma`
3.Al-ihtisan
bi al-qiyas al-khafi ( ihtisan berdasarkan qiyas tersembunyi )
4.
Al-ihtisan bi al-maslahah
5.
Al-ihtisan bi al-`urf
6.
Al-ihtisan bi al-dharurah



ihtisan Secara Etimologi, Istihsan artinya Menganggap baik sesuatu.
Dalam istilah Ulama Ushul, Istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kiyas jali ( nyata ) kepada kiyas khafi ( samar ), atau dari dalil kully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Karenanya, jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada 2 segi yang saling berlawanan :
Segi zhahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
segi Khafi yang menghendaki adanya hukum lain.
Dalam hal ini, pada diri mujtahid ada dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafi. Namun ia pindah kepada pandangan yang zahir, menurut syara’ hal ini disebut al istihsan. Begitu pula jika ada hukum kully pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juz’iyyah dari hukum kully, dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’iyyah, menurut syara’ hal ini juga disebut al istihsan.
Macam-macam Istihsan
mengutamakan (memenangkan ) kias khafi daripada kias jali berdasarkan dalil.
mengecualikan juz’iyyah dari pada hukum kully berdasarkan dalil.
Contoh- Contoh :
1. Nash Fuqaha Hanafiah
jika seorang wakif mewakafkan sebidang tanah pertanian,maka termasuk di dalam wakaf itu adalah hak perairan, air minum, hak lewat dengan konsekwensi ringan yang tak disebut berdasarkan istihsan.
Tetapi menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk dalam wakaf melainkan jika tedapat nash, misalnya tentang jual beli.
Menurut metode ihsan, yang dimaksud wakaf adalah pemanfaatan barang yang diwakafkan kepada pihak yang menerima wakaf. Tentunya tidak bisa dikatakan pengambilan tanah pertanian, misalnya, melainkan termssuk juga pengairan, air minum dan hak melewati. Semua itu termasuk dalam wakaf, walaupun tidak disebutkan secara ekplisit. Sebab, yang dimaksud wakaf tidak bisa diwujudkan melainkan meliputi keseluruhannya, seperti halnya masalah sewa-menyewa.
Dengan demikian, kias jali adalah menyesuaikan wakaf dengan jual beli lantaran keduanya sama-sama nelepaskan hak milik dari pemilik. Sedangkan kias khafi, akan menyesusaikan wakaf itu dengan sewa-menyewa, lantaran pada keduanya dimaksudkan mengambil manpaat.
Dengan kata lain, masalah pengairan, air minum, dan hak melewati daalm hal menyewakan tanah lumpur dengan tidak disebutkan semua itu, berarti tanah lumpur itu pun termasuk wakaf, walaupun tidak disebutkan.

2. Nash Fuqoha Hanafiyah
Apabila terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli dengan harga tertentu, sedang barang belum diserahterimakan, lalu pihak penjual mengaku harga barang tersebut, misalnya Rp. 100,- dan pihak pembeli mengaku seharga 90, maka penjual dan pembeli itu harus mengangkat sumpah berdasarkan istihsan.
Tetapi menurut kias, pihak penjual tidak diperlukan mengangkat sumpah lantaran ia menambah harga Rp 10, dan pihak pembenli tidak mengakuinya. Dalam hal ini saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wjib bagi orang yang mengingkari. Dengan demikian, tidak ada sumpah bagi pihak penjual.
Kalau dengan jalan istihsan, pihak penjual adalah pendakwa, jia kenyataan itu dikaitkan dengan tambahan harga. Dan pihak pembeli adalh pihak yang mengingkari karena ia hanya membayar Rp 90 ketika menerima barang yang dibeli. Secara nyata, pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari adanya tambahan rp 10 sebagaimana didakwakan pihak penjual. Tetapi pada dasarnya pembeli juga sebagai pendakwa hak penjualan barang yang diserahkan dari penjual seharga Rp 90.
Dengan demikian antara pembeli dan penjual itu, masing-masing berkedudukan sebagai pendakwa ditinaju dari satu segi, dan ditinjau dari segi lainnya, masing-masing dalah yang menigkari. Karenanya kedua-duanya harus diangkat sumpahnya.dengan demikian , kias jali itu menyesuaikan suatu peristiwa dengan peristiwwa yang lain antara pendakwa dengan pengingkar, maka saksi yang nyata bagi pendakwa wajib ada dan wajib sumpah bagi orang yang mengingkari.
Dengan jalan kias khafi yaitu menyesuaikan kejadian itu dengan setiap kejadian antara dua pihak yang saling menuduh. Suatu saat bisa dikatakan sebagai pendakwa, dan di pihak lain dianggap sebgai orang yang mengingkari, kedua-duanya harus mengangkat sumpah.

3. Nash Fuqoha Hanafiyah
Bahwa sisa makanan dari binatang bus seperti burung garuda, gagak dan elang serta rajawali, menurut istihsan adalh suci, tetapi berdasarkan kias adlah najis.
Dengan jalan kias akan dikatakan sisa yang masih berada pada binatang yang dagingnya haram dimakan, misalnya harimau, siba’ srigala, hukumnya mengikuti daging binatang buas itu yaitu haram.
Jka dengan jalan istihsan, walaupun burung buas itu dagingnya haram dimakan, tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidak terjadi percampuran dengan sisia yang berada pada binatang tersebut oleh sebab itu sia makanannya tidaklah haram. Sebab, ia minum menggunakan paruh yang suci. Kalau binatang buas, karena lidahnya itu bercampur dengan air liur, dan jika minum harus menggunakan lidahnya, maka sisannya najis.
Pada contoh-contoh tersebut, terdapat perlawanan antara dua kias pada satu kejadian.pertama, adalah kias jali, yang jelas pemahamannya, dan kedua kias khafi yang samar pemahamannya. Bagi mujtahid, ia telah memiliki dalil yang mengutamakan kias khafi, dengan demikian, ia pindah dari kias jali. Perpindahan ini biasa disebut al istihsan, dan dalil yang dipakai sebagai dasar ialah jalan istihsan.
Contoh-contoh bagian kedua, yaitu mengecualikan jiz’iyyah dqari hukum kully berdasarkan dalil , ialah :
Sayar’I telah melarang mengadakan penjualan atau perjanjian ( akad ) terhadap barang yang tidak terdapat di tempat akad. Tetapi, melalui istihsan, perbuatan itu doiperbolehkan melalui jalan pesanan, akad, atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang utuk ditanami dengan sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian permohoan kerja. Jalan istihsan ini menyangkut kebutuhan manusia yang saling kenal diantara mereka.
Fuqoha telah menetapkan bahwa orang yang dipercaya, jika kematiannya tidak diketahui akan membuat penderitaan lantaran tidak dikeruahuianya. Fan hal itu bisa berlaku bagi siapapun. Namun terapat pengecualian menueurt istihsan terhadap kematian ayah, nenka, atau oarang yang membuat wasiat secara rahasia, dengan jalan istihsan, ayah, nenk, dan pewasiat situ hendaknya menyediakan perbelanjaan untk anak kcil dan memnuhi segala kebutuhannya. Sebab. Kemungkinan apa-apa yang tidak diketahui sudah dipenuhi melaui jalan tersebut.n resiko. Kecuali kalau kerusakan yang terjadi itu sangat luar biasa, jalan istihsan, bersikap percaya kepada pihak penyewa.
Fukha juga menetapkan bahwa orang yang tidak membelanjakan hartanya lataran bofdoh, tidak sah amal baiknya. Menurut istihsan dikecualikan wakaf atas dirinya ketika mash hidup. Jalan istihsan disini ialah wakaf atas dirinya itu berarti mempercayakan tanahnya agar tidak disis-sisikan. Hal ini telah disepakati, dan yang demikian itulah maksud membelanjakan sesuatu.
Dalam contoh-contoh itu, bagian hukum kully dikecualikan oleh dalil juz’I, dan itulah yang disebut sebagi istihsan. Fukoha juga menetapkan bahwa orang yang dipercaya tidak akan menderita kecuali jika dilakukan secara sembarang dan melalmpaui batasa. Menurut istihsan hal ini dikecualikan bagi orang yang mehyewa secara bersama-sama, sebab ia tidak akan menannggung baebab
Kehujahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan dapat diketahui bahwa istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pemebentukan hukum yang bediri sendiri. Sebab, hukum-hukum tersebut pada macam pertama, berdasarkan dalil kias khafi itu lebih diutamakan dibanding kias jali, lantaran itu dapat menenteramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Kemudian macam ihtisan yang kedua, hukum-hukumnya antara lain, dalil maslahah yang menuntut pengecualian pada bagaian hukum kully, atau yang ditemukan sebagai jalan istihsan.
Yang mengunakan hujjan istihsan ini, kebanyakan adalah ulama’ hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan sebagai hujjah adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsa hanya merupakan istidlal dengan kias khapi yang dimenangkan atau diutamakan dari kias jali, atau merupakan kemenangan, atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualian hukum kulli semua ini merupakan istidlal yang benar.

KERAGUAN ORANG YANG TIDAK MENGGUNAKAN ISTIHSAN SEBAGAI HUJJAH
Ada sebagian mujtahid yang menolak penggunaan istihsan dan menuduhnya sebagai istinbat. Hukum syara’ yang didasari kemauan hawa nafsu yang seenaknya. Tokoh yang menolak penggunaan istihsan ini ialah imam Asy-Syafi’I, yang mengatakan siapapun yang menggunakan istihsan berarti telah membuat syariat. Maksudnya orang itu membuat hukum syariat sendiri.
Dalam kitab Arrisalah Imam Asy-Syafi’I menetapkan bahwa, orang yang menggunakan istihsan itu bagaikan orang yang menjalankan sholat menghadap kearah – menurut istihsan adalah arah ka’bah, tanpa mengiringkan dalil-dalil yang dibuat syari.
Dalam kitab yang sama ditempat lain Al-Syafi’i juga menetapkan, “Istihsan sama saja dengan rasa nyaman, yang jika diperkenankan menggunakan istihsan mengenai soal agama, maka kebolehan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang punya akal tetapi bukan ahli ilmu, yang tentunya dibolehkan membuat syari’at dalam setiap masalah, dan masing-masing individu akan membuat hukum syara’ untuk dirinya sendiri.
Bagi muallif dua kelompok yang berbeda pendapat itu lantaran tidak sepakat dalam hal mengertikan pengertian istihsan dengan demikian ulama yang menggunakan istihsan sebagai nhujjah mengharapkan kepada ulama’ yang tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah pada dasarnya menggunakan pengertian lain. Jika mereka yang berbeda itu sepakat mengenai batasan pengertiannya, maka sudah barang tentu mereka tidak akan berbeda pendapat tentang istihsan dapat dijadikan sebagai hujjah . Sebab pada dasarnya istihsan itu ialah pindahnya dari dalil yang jelas atau dari hukum kully lantaran adanya dalil yang menuntut perpindahan itu, sehingga bukannya merupakan pembentukan hukum dengan nafsu. Tiap-tiap qadhi terkadang harus menyalahkan berpikirnya terhadp beberapa kasus yang sebenarnya zhahir undang-undang menuntut adanya perpindahan. Hal inipun termasuk jenis istihsan.
Karenanya Imam Al-Syafi’I mengatakan dalam Al-Muwafaqat orang yang menggunakan Istihsan tidak boleh mengembalikan persoalan kepada perasaan dn keinginannya. Namun harus dikembalikan kepada hal-hal yang telah diketahui berdasarkan tujuan syar’I secara umum dalam beberapa hal dituntut oleh kias tentang adanya perintah. Walaupun, perintah itu dari satu segi dapat menghilangkan maslahah, namun dari segi lain dapat mendatangkan mafsadah.


sumber : berbagai sumber

IMAM HAMBALI

IMAM HAMBALI

Beliau lahir di Baghdad Irak pada bulan Robiul Awwal tahun 164 H/780 M, beliau terkenal ahli dalam hadits, fiqih, dan teologi murid dari Imam Syafi'i. Sewaktu Imam Syafi'i meninggalkan Baghdad beliau berkata: "Saya tidak meninggalkan di Baghdad orang yang lebih alim dan lebih cerdas selain dari Ahmad Ibnu Hambal (nama lengkap Imam Hambali)". Pertama kali beliau belajar pada Imam Syafii dan setelah cukup ilmu dan pengetahuannya lalu beliau berijtihad dan merintis suatu madzhab tersendiri yang kita kenal dangan Madzhab Hambali.

Seperti Imam Imam Madzhab yang terdahulu banyak pula ulama ulama besar yang datang belajar padanya. Beliau terkenal sebagai seorang yang teguh sendirian dan keras mempertahankannya. Waktu itu yang menyebabkan kholifah Al Makmun menyiksa dan menghukumnya yaitu dalam hal perbedaan pendapat tentang Qodim. Menurut al Makmun sebagaimana pendapat Mu'tazilah yaitu: Madzhab resmi yang dianut oleh kerajaan kholifah Al Makmun waktu itu yang berpendapat bahwa Al Quran itu makhluk, seba itu adalah baharu (huduts). Pendapat ini dipaksakan oleh kholifah Al Makmun tetapi tetapi Imam Hambali secara tegas dan konsekuen menolah pendapat tersebut.

Imam Hambali banyak menulis buku buku yang berharga. Nampaknya diantara sekian banyak ilmu pengetahuannya, beliau lebih menonjol dalam Hadits. Beliau menyusun sebuah Musnad yang didalamnya terkumpul Hadits Hadits yang tidak ditemukan oleh ulama lainnya. Kitab Musnad tersebut berisi 40 ribu buah Hadits.

IMAM ASY SYAFI'I

IMAM ASY SYAFI'I

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Abdillah bin Muhammad Ibnu Idris Asy Syafi'i. Beliau dilahirkan di Gaza, Palestina pada tahun 150 H atau sekitar tahun 757 M. Beliau punya hubungan silsilah kefamilian dengan Rosululloh SAW, dari keturunan Mutholib Ibnu Abdil Manaf. Imam Syafi'i dilahirkan sebagai orang yatim, sejak kecil tumbuh dan menuntut ilmu di Makkah bersamanya dengan ibunya yang hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan. Sejak usia muda Imam Syafi'i telah hafal Al Quran 30 juz, terkenal sebagai orang jenius yang memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pernah beliau belajar tentang Hadits pada Imam Maliki yang bernama AL MUWATHTHO' itu terhafal semua.

Terhadap semua pengetahuan yang berhubungan dengan Al Quran, Sunnah, ucapan ucapan para sahabat Nabi serta pendapat pendapat yang berlawanan dari pada para ahli dan sebagainya, diaduknya dengan sempurna dengan pengetahuannya yang mendalam tentang bahasa Arab baik dalam lughotnya, nahfu shorofnya serta syairnya. Imam Ahmad Ibnu Hambali dengan segenap kejujurannya mengungkapkan bahwa "Imam Syafi'i bagi umat ini ibarat matahari bagi bumi dan laksana kesehatan bagi tubuh, siapa yang akan dapat menggantikannya?". Di forum forum diskusi beliau termasuk seorang yang ulet dengan argumentasi argumentasinya yang sulit dipatahkan.

Imam Syafi'i termasuk orang yang beruntung hidupnya dalam bidang ilmiah. Beliau muncul setelah tersusunnya kodifikasi Syari'ah menurut sistem sistem yang teratur dalam bentuk yang rapi. Dengan demikian beliau mudah mempelajari buah buah pikiran dari ulama ulama terdahulu dan belajar langsung dari mahaguru mahaguru terkemuka. Karena itu beliau akhirnya dapat mencapai suatu prestasi yang tinggi dalam bidang ilmiah, beliau mampu merumuskan suatu metode yang mempersatukan Al Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Berada dengan Imam Abu Hanifah sebagai seorang ahli metode berfikir dan lebih menyetujui suatu metode spekulasi yang hipotesis, maka Imam Syafi'i tidak menyetujui metode itu, namun demikian beliau yang luas pandangan, ilmu dan pengalaman, beliau juga menguasai fiqih. Sarjana sarjana dan ulama ulama Hijaz dan fiqih sarjana sarjana Irak. Sebab itu ketika Imam Syafi'i muncul di Baghdad maka ajaran ajarannya mendapat pengikut.

Imam Syafi'i mempunyai dua Qoul (pendapat). Pertama beliau bermukim di Baghdad namanya Qoul Qodim (pendapat terdahulu). Kedua ketika beliau tinggal di Mesir namanya Qoul Jadid (pendapat baru). Tak terhitung banyaknya ulama yang datang belajar kepada beliau. Selama hayatnya beliau telah menulis sejumlah 113 kitab kitab tentang tafsir fiqih sastra dan lain lainnya. Antara lain kitab "Al Um". Para pengikut madzab Imam Syafi'i banyak tersebar di Indonesia, Hadromaut, Yaman, Malaysia, Libanon, mesir. Imam Syafi'i wafat pada bulan Rojab tahun 204 H atau sekitar tahun 820 M.

urf'

'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).

1. Pengertian

'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.

Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

2. Macam-macam 'urf

'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf qauli

Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).

b. 'Urf amali

Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:

a. 'Urf shahih

Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.

b. 'Urf asid

Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf 'âm

Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:



Artinya:

"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.

Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf khash

Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

3. Dasar hukum 'urf

Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah

(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf

Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:

a.

Artinya:

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."

b.

Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."

c.

Artinya:

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."

Syar’un man qablana


Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya

1. Pengertian dan dasar hukum

Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.

Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:



Artinya:

"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syûra: 13)

Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.

2. Macam-macam syar'un man qablana

Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:

a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.

b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.

c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.

Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.

Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.

urf'


'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).

1. Pengertian

'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.

Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

2. Macam-macam 'urf

'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf qauli

Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).

b. 'Urf amali

Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:

a. 'Urf shahih

Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.

b. 'Urf asid

Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf 'âm

Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:



Artinya:

"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.

Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf khash

Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

3. Dasar hukum 'urf

Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah

(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf

Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:

a.

Artinya:

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."

b.

Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."

c.

Artinya:

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."

Syar’un man qablana


Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya

1. Pengertian dan dasar hukum

Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.

Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:



Artinya:

"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syûra: 13)

Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.

2. Macam-macam syar'un man qablana

Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:

a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.

b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.

c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.

Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.

Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.

sumber : berbagai sumber

urf'


Urf
A. Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yanag diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi

B. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.

C. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

D. Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas


Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta

 

© 2013 Blog Pendidik Barsel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top